Selamat Datang | Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma | Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat

Monday, August 6, 2012

Surabaya dan Penuaan Dini...^^

Surabaya dan penuaan dini? apalah artinya kira-kira? apakah Surabaya mirip manusia gitu yang tidak memakai krim-krim apa gitu sehingga mengalami penuaan dini? hehehe, mungkin judulnya kurang pas, tapi intinya adalah, Surabaya pernah mengalami suatu masa penuaan seketika. Masa itu terjadi dimana pada tahun 1974 Surabaya memperingati hari  jadi kota ke 68 namun pada tahun 1975 Surabaya memperingati hari jadi kota ke 682!! eh busyeeet mendadak tua 600 tahun lebih...apalah kira-kira penyebabnya? beginilah ceritanya...
Sebelum tahun 1975, hari jadi Surabaya diperingati setiap tanggal 1 April, tanggal ini diambil dari tanggal pembentukan pemerintah kota pertama kali di Hindia Belanda, bersamaan dengan tiga kota lainnya, yaitu Bandung, Medan dan Makassar. Setelah empat kota ini diresmikan bersamaan pada tanggal 1 April 1906 berikutnya setiap tanggal 1 April dibentuk kota-kota baru lainnya mengikuti.
Peringatan dirgahayu Surabaya setiap tanggal 1 April oleh kalangan sejarawan dirasa kurang pas, karena Surabaya memiliki sejarah yang lebih tua dari tahun 1906. Bahkan lebih tua sebelum era Kolonial Belanda hadir di Indonesia. Peringatan 1 April 1906 sebagai hari lahir Surabaya dianggap terlalu muda untuk kota Surabaya.
Akhirnya, berdasarkan keingininan masyarakat yang peduli dengan Surabaya, berdasarkan keputusan Walikota Surabaya tahun 1973 dibentuklah tim khusus untuk melakukan penelitian tentang hari jadi Surabaya. Hasilnya tim tersebut menghasilkan empat alternatif tanggal sebagai hari jadi Surabaya selain 1 April 1906.
1. 31 Mei 1293, dipergunakan sebagai penanda, bahwa tanggal tersebut Raden Wijaya berhasil memenangkan peperangan melawan prajurit Tartar Khu Bilai Khan yang berhasil diusir melalui daerah Hujunggaluh (Surabaya);
2. 11 September 1294, hari dimana Raden Wijaya menganugerahkan tanda jasa kepada Kepala Desa Kudadu dan seluruh rakyatnya yang telah membantu mengusir tentara Tartar;
3. 07 Juli 1358, tanggal dimana terdapat dalam Prasasti Trowulan I yang menyebut pertama kalinya Surabaya dipakai sebagai Naditira Pradeca Sthaning Anambangi (desa dipinggir sungai tempat penyebrangan); 
4. 03 November 1486, tanggal yang terdapat dalam prasasti Jiu yang menjelaskan bahwa Adipati Surabaya untuk kali pertama melakukan pemerintahan di daerah ini.
(Sumber dirangkaikan kembali dari sawoong.com)
Akhirnya, DPRD Surabaya dengan surat keputusan no. 02/DPRD/Kep/75 tertanggal 6 Maret 1975 menetapkan hari jadi Surabaya pada tanggal 31 Mei 1293.
Penetapan tanggal 31 Mei ini bukannya tanpa ada tentangan, Dr. Riboet Darmasutopo dari UGM menegaskan, bahwa tentara Tartar meninggalkan Jawa (Hujunggaluh) adalah tanggal 19 April 1293, bukan 31 Mei 1293, dilanjutkan dengan naik tahtanya Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit tanggal 12 November 1293. Pararaton dan Negarakertagama memberikan data yang sama, bahwa Raden Wijaya naik tahta di Majapahit bergelar Kertarajasa Jayawardana tahun 1294.
Menurut kawan-kawan sekalian, apakah perdebatan hari jadi Surabaya dari tanggal 01 April, kemudian diubah tanggal 31 Mei dan sekarang ditentang menjadi 19 April cukup relevan untuk diangkat? atau biarlah begitu saja, sama-sama ga tau ini...atau bagaimana kawan-kawan punya pendapat? ^^
Lebih lengkap infonya kawan-kawan dapat akses di sini

Monday, July 23, 2012

Surabaya dan Salah Kaprah Asal Muasalnya

Jika kengkawan mendengar kata Surabaya, selain kota Pahlawan dengan 10 Novembernya, secara spontan yang terlintas adalah patung ikan Hiu dan Buaya yang saling serang yang kini menjadi lambang kota Surabaya, pun lambang Persebaya…^^, namun hasil penelusuran tim Sawoong menunjukkan hal lain, yaitu bahwa Surabaya sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan Sura (ikan Hiu) dan Buaya tersebut.
Mitos yang berkembang, nama Surabaya berasal pertarungan Ikan Hiu dan Buaya, sehingga Surabaya diambil dari kata Sura yang berarti ikan Hiu dan Baya yang berarti Buaya, oleh Karena itu, lambang kota Surabaya adalah Sura (Ikan Hiu) dan Buaya. Secara terminology bahasa, mitos ini dapat dipatahkan, karena istilah Sura sama sekali tidak mencerminkan kata Ikan Hiu, baik dari bahasa Inggris, Belanda, Portugis, Spanyol, Sansakerta, maupun Jawa Kuno. Kecuali Shark dalam bahasa Inggris yang lidahnya mungkin kepleset jadi Sura, tapi jauh banget candaan plesetannya. Lain ceritanya jika Baya diambil dari Buaya atau Boyo, sehingga masih masuklah ini. Lalu Sura ini apa? Jika bukan ikan Hiu, lalu kenapa lambang Surabaya adalah Ikan Hiu dan Buaya.
Maka pertanyaan ini memunculkan rentetan pertanyaan berikutnya, sejak kapan Surabaya menggunakan logo Ikan Hiu dan Buaya sebagai lambang resmi identitas kota?
Lambang yang resmi tertempel di kop surat pemkot Surabaya ini ditetapkan oleh DPRS Kota Besar Surabaya dengan Putusan no 34/DPRDS tanggal 19 Juni 1955, ini diamini Presiden Sukarno dalam Keputusan Presiden RI No 193 tahun 1956 pada 14 Desember 1956. Sebelum tahun 1955, Gemeeente van Soerabaia alias pemkot Surabaya di masa Hindia Belanda juga mengambil dua binatang ini sebagai lambang.  Bedanya, lambang yang sekarang terkesan lebih heroik karena dua binatang itu saling serang, sementara lambang zaman Gemeeente kedua hewan ini pada posisi tidur sejajar di sebuah perisai warna biru langit. Ikan hiu di sisi atas menoleh ke kiri, dan buaya di bawah menghadap ke kanan. Keduanya berwarna perak. 
Di atas perisai terdapat gambar benteng yang mahkota warna emas. Sisi kiri-kanan perisai dipegangi dua singa Nederlandia (Nederlandse Leeuwen) berwarna emas dengan lidah dan kuku berwarna merah menjulur. Di bagian bawah ada pita bertuliskan "Soera-Ing-Baia".
Singa kembar mengapit prisai dengan pita di bagian bawah dan benteng di bagian atas adalah ciri lambang kolonial era 1900-an. Lambang ini berlaku di semua kota di Hindia Belanda, gementee van Soerabaia atau Pemkot Surabaya yang lahir pada 1 April 1906 juga ingin lambang kota. 
Lambang sebuah ikan dan buaya itu sebenarnya usulan LCR Breemen, bos Bank Nutsspaark di Surabaya. Sia berdalih lambang dua hewan itu pantas karena dasar mitos. Namun Breemen hanya mengusulkan karena yang merancang desain grafisnya adalah Genealogisch Heralsch Leeuw atau perhimpunan ahli lambang di Belanda. Baru pada 1920, lambang dua hewan dalam perisai itu menjadi kop surat dan stempel resmi Gemeeente van Soerabaia.
Secara sederhana, dari ulasan singkat tersebut diketahui istilah Surabaya dimungkinkan berasal dari kata Soera ing Baia sebagaimana tertera pada lambang Gementee van Soerabaia. Namun, istilah Soera ing Baia sama sekali tidak menunjukkan hubungan antara Ikan Hiu dan Buaya. Soera Ing Baia membawa arti Berani menghadapi Bahaya, dari bahasa Sansakerta. Sebagaimana kita tahu, beberapa istilah dan symbol yang ada di Negara kita berasal dari bahasa Sansakerta, maka asal usul nama ini dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanyaan berikutnya, dari manakah Gementee van Soerabaia memperoleh ide Ikan Hiu dan Buaya sebagai symbol kota?
Sejumlah literatur sejarah mengungkapkan logo tertua model ikan dan buaya itu ditemukan arkeolog Belanda tahun 1920 dari penning atau prasasti tua yang dibuat untuk memperingati 10 tahun usia Perkumpulan Musik St Caecilia (1848 - 1858). Logo ini juga diyakini dibuat dari kain bludru yang dibordir di bendera yang menjadi panji panji perkumpulan musik ini. Logo itulah yang dipajang di setiap pementasan di bagian pinggir panggung para pemain musik. Mungkin karena bentuk logonya unik, Di tahun 1848, sebuah koran dagang Hindia Belanda tertua yang terbit di Surabaya, Soerabaiasche Courant, meletakkan lambang ini di kop koran sebagai logonya. Namun saat itu tidak jelas apa filosofi di dalam logo ini karena tidak pernah ada catatan. 
Kesimpulan sementara dari uraian Sawoong.com adalah, bahwa logo Ikan HIu dan Buaya yang dipakai Surabaya sebagai lambang identitas kota terinspirasi dari Perkumpulan Musik St Caecilia yang tenar pada tahun 1848 an, lalu dengan sedikit modifikasi dipakai sebagai lambang pemerintah Hindia Belanda di Surabaya tahun 1920 an dan kemudian diresmikan oleh Pemerintah Kota Surabaya tahun 1955 sampai sekarang dengan membuat ikon Sura dan Buaya nya saling serang dengan membentuk huruf “S”.
Soal logo Ikan Hiu dan Buaya sudah beres, tinggal nama Surabaya nya sendiri. Jika tidak mengacu pada Ikan Hiu (Sura) dan Buaya, lalu apakah arti Surabaya itu sendiri?
Hasil penelusuran Sawoong.com memperoleh 6 hipotesa asal usul nama Surabaya.
1.       Yang paling sederhana adalah mitos masyarakat, terkait pertempuran Ikan Sura dan Buaya yang terjadi disekitar Jembatan Merah, akibatnya Sura dan Buaya tersebut mati dan darahnya melumuri Jembatan sehingga berwarna merah, lalu bangkainya dimakan semut sehingga disekitar Jembatan Merah tersebut terdapat kampong semut, dan akhirnya ada Stasiun Semut @.@ (sebuah hipotesa yang paling lemah karena tidak terdapat bukti sama sekali dan hanya berdasarkan cerita fable rakyat setempat paling popular terkait asal usul Surabaya);
2.       Masih terkait mitos, kali ini terkait dengan Adipati Jayengrono (penguasa Surabaya) dan Sawunggaling (tokoh rakyat yang kerap dipentaskan dalam cerita Ludruk). Konon setelah mengalahkan prajurit Tartar tahun 1293, Raden Wijaya selaku raja pertama Majapahit mendirikan sebuah kadipaten di daerah Ujung Galuh (Surabaya) dan mengangkat Raden Jayengrono sebagai Adipati. Karena kekuasaan Adipati Jayengrono semakin meluas dan khawatir akan merongrong kewibawaan Majapahit, akhirnya Majapahit mengutus Sawunggaling untuk menaklukan Jayengrono. Jayengrono yang menguasai ilmu Buaya dan Sawunggaling yang menguasai Ilmu Sura (Ikan Hiu) bertarung habis-habisan dan keduanya mati kelelahan (maksa deh…sedikit gubahan dari cerita pertama sepertinya @.@);
3.       Surabaya menurut ahli arkeologi memang sudah muncul pada masa Majapahit. Dalam prasasti Trowulan tahun 1358 (yang sekarang tersimpan di Trowulan) tertulis nama daerah di tepian sungai Brantas yang disebut dengan Churabhaya;
4.       Dalam Pujasastra Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca, nama Surabhaya tercatat sebagai sebuah daerah di muara sungai Brantas, tempat dimana sang raja pada tahun 1365 melepas lelah dalam melakukan perjalanan;
5.       Menurut GH Von Faber, dimungkinkan Surabaya sudah terlebih dahulu ada sebelum prasasti Trowulan maupun dalam Negara Kertagama. Dalam Karya bertajuk En Werd Een Stad Geboren, Von Faber membuat hipotesis, Surabaya didirikan oleh Raja Kertanegara tahun 1275 sebagai pemukiman baru bagi para prajuritnya yang telah berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan;
6.       Surabaya pertama kali dikenal sebagai sebuah pedukuhan di barat Tegal Bobot Sari (sekarang Tegal Sari), muncul di Jaman Pangeran Kudo Kardono yang berkuasa tahun 1400 an, nama pedukuhan itu sekarang menjadi Kampung Surabayan.
Manakah yang benar?
Pemerintah Surabaya sepertinya memiliki cerita sendiri. Hal ini terkait juga dengan tanggal lahir atau hari jadi Kota Surabaya yang akan saya tulis dalam tulisan selanjutnya…
Jadi kesimpulannya, Surabaya berasal dari kata?...
Sumber data dan gambar dapat dilihat di sawoong.com

Saturday, October 15, 2011

Cahaya Bintang Kadaluarsa


Kemaren (13 Oktober malam – 14 Oktober dini hari), di acara Bangbang Wetan di Balai Pemuda Surabaya yang kebetulan kali ini diletakkan (barang kale…^^) -diselenggarakan mungkin bahasa yang pas-, diselenggarakan di luar gedung, karena gedung Balai Pemuda terbakar beberapa minggu yang lalu, saya melihat bulan pas sedang bagus dengan ditemani satu cahaya bintang yang sangat terang memancar. Kayaknya sering ngelihat bintang seterang itu, tapi yang ini kok lebih terang, selidik punya selidik, ternyata konon itu adalah Planet Yupiter yang sedang berada dalam posisi oposisi dengan bulan (lengkapnya bisa di cek di sini). Tetapi, yang ingin saya bahas di sini bukanlah bintang malam kemaren = Yupiter, namun bintang-bintang laen yang mungkin sering kita lihat (baik Yu Piter, Yu Jah, Yu Ginten atau Yu-yu siapa lagi tetangga kita…^^).
Dulu, waktu saya kecil (curhat dikit…^^), saya punya kenangan manis dengan bintang dan kawan-kawannya di angkasa sana. Saya masih inget betul suasana ketika saya ga bisa tidur dan mbah saya (karena waktu kecil saya tinggal bersama simbah) menggendong sambil menggumamkan Lullaby yang sangat menentramkan sambil di halaman rumah memandang bulan, bintang dan kawan-kawannya di langit malam. Serius, mungkin waktu itu saya berumur 3- 4 tahun, tapi masih keinget betul sampai sekarang. Dan tahukah anda, jika cahaya bintang yang saya lihat sekarang mungkin adalah cahaya bintang yang sebenarnya saya lihat waktu saya kecil dulu? Atau mungkin 50 tahun lalu, atau 100, bahkan 1000 tahun lalu? Yang jelas, cahaya bintang yang kita lihat saat ini, adalah cahaya bintang yang kadaluarsa. Kenapa bisa begitu? Kira-kira beginilah ceritanya.
Tulisan ini saya rangkum dari beberapa sumber, yang intinya adalah sebagai berikut. Bintang kan banyak neh, berkelap-kelip, tapi ada yang Nampak terang, yaitu Matahari, karena sesungguhnya Matahari adalah bintang yang paling dekat dengan bumi, jaraknya kurang lebih 150 juta kilometer. Jika ditempuh dengan pesawat ulang-alik (atau bahasa resminya Space Shuttle) yang punya kecepatan 28.000 km/ jam, maka kita baru sampai di Matahari kira-kira, ehmmmmmm…5357 koma sekian jam, atau kurang lebih 224 hari (kurang dari setahun, kalo ga meledak dan kehabisan bahan bakar ^^).
Bagaimana dengan cahaya Matahari yang kita lihat dan rasakan setiap hari, jika melihat jaraknya yang jauh, apakah cahaya itu merupakan siaran langsung atau siaran tunda?..sebagaimana kita tahu, kecepatan cahaya adalah kurang lebih 300.000 km/ detik yang dalam bahasa fisika disebut dengan celeritas (disingkat dengan ‘c’). Jadi 1c = 300.000 km/ detik (tepatnya 299.792,46). Jika jarak Matahari adalah 150 juta kilometer, maka untuk sampai ke bumi butuh waktu 150.000.000 km/ 300.000 km = 500 detik atau 8, 3 menit. Dengan demikian, cahaya matahari yang kita lihat jam 06.00 pagi, sebetulnya adalah cahaya yang muncul jam 05.51.
Seringnya, ketika berurusan dengan planet atau bintang, satuan yang dipakai bukanlah kilometer, tapi sekian tahun cahaya, kebayang kan kira-kira maksudnya? Karena jaraknya terlampau jauh (jadi capek ngetiknya…^^), maka biasanya ditulis bintang x berjarak sekian tahun cahaya. Bintang Proxima Centauri misalnya, memiliki jarak 4,2 tahun cahaya, yang jika dikonversikan dalam satuan kilometer menjadi, ehmmmmm kurang lebih 4,2 tahun = 1500 hari  (biar lebih mudah), 1500 hari = 36000 jam, 36000 jam = 2160000 menit, dan 2160000menit = 129600000 detik. Jika kecepatan cahaya = 300.000 km/ detik, maka jarak Proxima Centauri adalah 300.000 x 129600000 = 38880000000000 km (piro iki rek…@_@)… nah, daripada capek nulisnya, makanya biasanya ditulis 4,2 tahun cahaya, yang diterjemahkan, cahaya yang sampai ke mata kita adalah kurang lebih 4,2 tahun cahaya.
Itu baru Proxima Centauri yang konon paling dekat dengan lingkaran matahari. Nah bintang kan jumlahnya ga keitung (kata siapa??? ^^). Konon jumlah bintang adalah 70 000 000 000 000 000 000 000 di seluruh alam semesta, dan di Galaksi Bima Sakti sendiri berjumlah kurang lebih 300 milyar, yang berkelap-kelip saking jauhnya.
Jelas bukan, berarti cahaya bintang yang saya lihat saat ini, bisa jadi adalah cahaya bintang yang saya lihat waktu saya digendong simbah bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana dengan kawan-kawan semua, coba lihat bintang sekarang, siapa tahu itu adalah bintang yang kita lihat waktu itu…^^


Thursday, October 6, 2011

Kenapa Perjalanan Pulang terasa lebih cepat


Kawan-kawan ngerasa ga, ketika dalam suatu perjalanan bahwa perjalanan pulang rasanya lebih cepat dibandingkan ketika kita berangkat? Ngerasa ga? Atau jangan-jangan kawan-kawan termasuk dalam golongan yang ga perduli dengan perjalanan yang penting sampai di tempat tujuan dengan selamat sentosa? ^^, bagi yang ngerasa bahwa perjalanan pulang lebih cepat daripada perjalanan berangkat, kira-kira inilah jawabannya.
Dahulu, para peneliti beranggapan bahwa perjalanan pulang terasa lebih pendek karena rute perjalanan sudah dikenal waktu perjalanan berangkatnya, sehingga mereka sudah menghafal rute dan oleh karena itu, perjalanan pulang terasa lebih cepat. Namun, berdasarkan hasil penelitian terhadap 350 orang yang berlibur dengan bus, dengan sepeda dimana penelitian ini sudah dipublikasikan di bulletin Springers Psychonomic Bulletin & Review.
Para peneliti tersebut beranggapan, bahwa efek perjalanan pulang ini tidak disebabkan oleh rute perjalanan pulang yang sudah dikenal, seperti diduga sebelumnya, tetapi karena harapan yang berbeda.
Para ilmuwan percaya efek perjalanan pulang ini tidak disebabkan oleh rute perjalanan pulang yang sudah dikenal, seperti yang diduga sebelumnya. Tetapi karena harapan yang berbeda. Sampai sekarang, penjelasan popular untuk perjalanan pulang yang terasa pendek adalah bahwa perjalanan pulang lebih mudah diprediksi daripada perjalanan berangkat, namun berdasarkan penelitian tersebut, pendapat ini disangkal.
Asisten penulis Michael Roy, dari Elizabethtown College di Pennsylvania, mengatakan: "Efek perjalanan pulang juga ada ketika responden mengambil rute kembali yang berbeda, namun jarak yang sama". "Anda tidak perlu mengenali rute untuk mengalami efek". Para peneliti berharap dapat menjelaskan lebih dari sekadar efek perjalanan pulang. "Temuan pada efek perjalanan pulang ini dapat membantu kita membuat prediksi baru tentang bagaimana orang mengalami durasi itu, meskipun mereka tidak berhubungan dengan perjalanan." kata Profesor van de Ven.
Ngarti ga kawan-kawan? Saya juga bingun neh, intinya kalo menurut saya, bahwa perjalanan pulang itu terasa lebih cepat karena kita tidak punya bayangan apa-apa terhadap apa yang akan kita kerjakan. Jika dalam perjalanan berangkat kita serius terfokus akan apa yang akan kita tuju, ngapain kita disana dan seterusnya, maka hal itu membuat perjalanan menjadi lama, sedangkan ketika dalam perjalanan pulang kita tanpa beban sehingga perjalanan terkesan lebih singkat. Kira-kira begitu, bagaimana menurut anda?

Sunday, July 24, 2011

Dimana Jalan Soekarno-Hatta Surabaya


Di kota-kota lain, mungkin nama ini sudah menjadi jalan, bahkan menjadi Bandar udara di Cengkareng sana. Tapi apakah kawan-kawan tahu, dimana jalan Soekarno – Hatta Surabaya? Bagi penduduk asli Surabaya mungkin menjadi tersadar, iyya ya, dimana jalan Soekarno – Hatta? Atau malah balik bertanya, “emang ada gitu?”
Wajar jika kawan-kawan bertanya seperti itu, karena saya pun baru berfikir tadi sore, ketika membaca nama Jalan Braga, Bandung di sebuah pamphlet di dekat sebuah mini market. Saya jadi bertanya, apakah ada Jalan Braga di Surabaya? Mungkin tidak, karena Braga memiliki sejarah tersendiri bagi kota Bandung, seperti halnya Tunjungan bagi Surabaya. Lalu, Jalan Soekarno – Hatta? Dimanakah gerangan? Saya coba ingat-ingat lagi, buka-buka peta lagi, ternyata ga ketemu, karena peta saya keluaran tahun 2004. Lalu saya coba cari di google map? Ga ketemu juga, masih bertanya-tanya, “apa bener Surabaya tidak punya nama Jalan Soekarno – Hatta?”, apa salah mereka sehingga pemerintah kota Surabaya tidak memakai mereka sebagai salah satu nama jalan di Surabaya? Padahal Soekarno sendiri yang meresmikan Tugu Pahlawan dan menjadikan pertempuran Surabaya, 10 November 1945 sebagai hari Pahlawan yang diperingati tiap tanggal tersebut sekaligus memberikan gelar “Kota Pahlawan” bagi Surabaya tahun 1962 silam. Jauh kebelakang, Soekarno juga lahir dan besar di Surabaya.
Akan tetapi, setelah saya coba googling, ketemu, rupanya benar, nama Jalan Soekarno – Hatta baru saja diresmikan (bukan baru, tapi belum lama), yaitu sekitar bulan April 2010 (kurang lebih satu tahun yang lalu). Lalu, dimanakah posisinya? Jalan ini terletak membentang dari pertigaan Jalan Kenjeran sampai dengan pertigaan Jalan Arief Rahman Hakim, berarti sekitar daerah Sukolilo sana mungkin. Jalan ini menggantikan nama Jalan Kertajaya Indah Timur, Jalan Dharmahusada Indah Utara dan Jalan Kalijudan. Jalan ini digabung dengan jalan lingkar timur Surabaya, Middle East Ring Road (MERR) yang saat ini dalam proses pengerjaan (konon sudah selesai sebagian).
Uniknya kawan, baru satu tahun nama jalan ini diresmikan melalui Perda ada rencana akan diubah lagi. Bukan diubah tapi dipecah, menjadi Jalan Bung Karno dan Jalan Bung Hatta. Jalan Bung Karno untuk lingkar Timur sedangkan Jalan Bung Hatta untuk lingkar Barat (dimana pula lingkar Barat? Belum ada :p) itu rencananya. Hal ini merupakan gagasan yang sangat luar biasa sebagai wujud apresiasi warga Surabaya terhadap kedua tokoh tersebut. Nama Soekarno – Hatta sebagai nama jalan sudah banyak digunakan di kota-kota lain, dan terlebih, Soekarno memiliki hubungan kedekatan yang erat dengan Surabaya, sebagai tempat lahir dan tempat dibesarkan serta belajar. Pemisahan nama Soekarno – Hatta merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap tokoh besar ini. Di Padang saja ada nama Jalan Dr. Muhammad Hatta, kenapa di Surabaya tidak ada nama Jalan Soekarno, atau Jalan Bung Karno, tidak perlu Jalan Soekarno – Hatta.
Namun, usulan ini ditolak oleh DPRD Kota Surabaya, karena kedua tokoh ini adalah satu sebagai dwi tunggal yang tidak perlu dipisah-pisahkan, lagipula, Jalan Soekarno – Hatta Surabaya juga baru disahkan, jadi akan membingungkan warga kalau diubah-ubah terus.
Kalau menurut kawan-kawan sekalian, bagaimana baiknya? ^^
Tulisan ini saya sarikan dari beberapa sumber diantaranya Berita Jatim dan Kantor Berita Antara.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes